Newest Post
// Posted by :Krisna Wijaya
// On :Kamis, 12 Februari 2015
Vincent van Gogh : Pusaran Badai Hidup Sang Jenius Seni
Vincent van Gogh adalah maestro pelukis
dengan karya dan kisah hidup yang tidak biasa. Bak goresan kuasnya yang penuh
lika-liku dalam lukisan Starry, Starry Night, kehidupan Vincent van Gogh juga penuh
pusaran badai yang kemudian menghabisi nyawanya.
Kehidupan Vincent van Gogh yang penuh badai
berawal dengan damai dan tenang di sebuah kota kecil di Belanda. Pada 30 Maret
1853, Theodorus can Gogh, pendeta setempat, dianugerahi anak pertama yang dinamai
Vincent. Ia dididik dengan religius dan tumbuh menjadi anak saleh. Vincent juga
disayangi kelima adiknya yang lahir kemudian.
Di usia 16 tahun, setelah menuntaskan sekolah
di kota kecilnya, Vincent memutuskan untuk mengikuti jejak sang paman sebagai
penjual karya seni. Ia memulai karier barunya di Belanda, dan ketika usahanya
semakin berkembang, Vincent harus sering bepergian ke Inggris dan Perancis.
Awal yang menjanjikan untuk seorang pria muda.
Satu kali, ketika sedang menetap di Inggris
untuk menjual karya-karya seni, Vincent berkenalan dengan perempuan setempat,
putri dari pemilik kontrakan tempatnya tinggal. Vincent jatuh cinta padanya,
namun cinta pertama ini berujung penolakan. Merasa depresi, Vincent pun
meninggalkan bisnisnya begitu saja. Ia kembali ke kota kelahirannya dan
mengikuti jejak sang ayah, mempelajari teologi.
Meski penuh semangat untuk menjadi pelayan
Tuhan, Vincent gagal di beberapa mata pelajaran. Salah satu argumennya yang
mencolok kala itu adalah penolakan terhadap penggunaan bahasa Latin dalam
khotbah untuk kaum marjinal. Padahal, Vincent dekat dengan golongan tak mampu,
seperti dengan kaum buruh tambah. Niat Vincent menjadi pendeta pun pupus.
Suatu kali, sebuah panggilan bergema kuat
di benak Vincent. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih, meninggalkan jejak
yang abadi. Sudah lama Vincent suka melukis, dan Theo, adik yang paling dekat
dengannya, selalu mendorong sang kakak untuk melukis. Theo yang juga berkarier
sebagai pedagang barang seni bahkan rela membiayai Vincent mengikuti pendidikan
seni di Academie Royale des Beaux-Arts, Belgia, selama sembilan bulan.
Di usia 27 tahun, setelah merampungkan
studinya, Vincent pulang ke rumah orang tuanya untuk melukis secara
profesional. Sebagai seorang perfeksionis, Vincent tak ragu melakukan banyak
eksperiment dan riset mendalam untuk memperkuat ilmu seninya secara otodidak.
Objek-objek awalnya adalah pemandangan pedesaan atau figur para buruh tambang.
Pada 1881, dengan karier seni yang masih
redup (lukisannya banyak diprotes karena tidak memakai warna-warna cerah
seperti trend kala itu), Vincent kembali jatuh cinta. Kali ini, ia jatuh hati
pada saudara sepupunya sendiri, Cornelia Adriana. Namun, Cornelia tak dapat
menerima cinta Vincent karena wanita itu masih berduka atas kematian suaminya.
Tak lama, Vincent mulai menunjukkan gejala
sakit mental. Ia pindah dari rumah orangtuanya untuk tinggal dengan sepupunya
yang juga pelukis, Anton Mauve. Namun, dari rumah terdengar kabar bahwa sang
ayah sakit keras. Vincent pulang ke Belanda dan mendirikan studio untuk
berkarya di dekat rumah orang tuanya. Tetap saja, lukisan Vincent masih belum
laris meski ia telah beradaptasi dengan gaya lukisan kala itu dan menerima
masukan dari kritikus seni.
Suatu hari, Vincent kembali jatuh cinta,
kali ini dengan Margot Begemann, putri tetangganya. Hubungan Vincent dan Margot
cukup serius dan mereka telah merencanakan pernikahan. Sayang, orangtua Vincent
maupun Margot menentang habis-habisan. Margot yang putus asa sempat melakukan
percobaan bunuh diri dengan menenggak racun.
Ayah Vincent meninggal tak lama kemudian.
Dalam kondisi depresi, Vincent pergi jauh dari rumahnya dan tiba di Paris. Di
sana, ia tinggal bersama seniman terkenal Paul Gauguin, sambil sama-sama
membangun mimpi untuk sama-sama membuat sebuah komunitas seni.
Namun, kondisi kesehatan Vincent makin lama
makin memburuk – serangan epilepsi dan delusi mulai mengganggu kesehatan
jiwanya. Satu kali, pertengkaran pecah antara Vincent dan Gauguin, dan Vincent
sempat mengejar temannya dengan pisau. Pulangnya, dalam rasa kalut yang luar
biasa, Vincent nekat memotong satu telinganya. Ia masuk rumah sakit dan ketika
pulang, ia mendapati Gauguin telah pergi.
Pada 1888, Vincent mendaftarkan diri ke
sebuah pusat perawatan mental di Saint Remy de Provence. Di sinilah Vincent
berkarya dengan bebas, tanpa dikecewakan wanita atau sahabat. Vincent melukis
dengan sangat produktif. Hampir setiap hari ia menghasilkan satu lukisan dengan
kualitas tinggi.
Vincent telah terbiasa memasukkan warna
cerah dan goresan yang unik pada karya-karyanya. Lukisan Vincent di masa ini
menggambarkan kehidupan sehari-hari, seperti suasana kafe atau langit malam,
namun goresan dan simbol di dalamnya benar-benar menggambarkan kondisi mental
dan kehidupan personal Vincent.
Sayang, karena karya-karyanya tidak pernah
diapresiasi, Vincent memandang hidupnya sebagai sebuah kesia-siaan. Suatu hari,
Vincent menembak dadanya sendiri dan meninggal dua hari kemudian. Usianya baru
37 tahun.
Theo, adik kesayangan Vincent yang terus
mengumpulkan karya-karya sang kakak, meninggal enam bulan kemudian. Janda Theo,
Johanna Gesina, memutuskan mempublikasikan lukisan-lukisan kakak iparnya.
Ternyata, karya Vincent mendapat popularitas tinggi dalam waktu singkat. Nama
Vincent van Gogh mendadak terkenal dan karyanya diburu kolektor dengan harga
tinggi. Bahkan, gaya lukisan Vincent turut mengubah tren lukisan kala itu dan
membidani kelahiran aliran post-impresionisme. Kisah hidupnya yang penuh
“badai” pun menjadi legenda.
Tak lama setelah kematiannya, acara
peringatan yang didedikasikan untuk Vincent van Gogh digelar dimana-mana.
Seharusnya, inilah akhir yang indah dari perjalanan sang seniman, seandainya
saja ia hidup cukup lama untuk menyaksikannya.
Karya-Karya Vincent van Gogh
The Potato Eaters
Lukisan yang menggambarkan lima orang
sederhana yang duduk dan makan kentang ini dalah salah satu karya awal Vincent.
Terinspirasi dengan kedekatannya dengan kaum marjinal, lukisan yang pada
awalnya kurang diapresiasi tersebut kini dianggap salah satu mahakarya Vincent
van Gogh.
Sunflowers
Vincent beberapa kali melukis bunga
matahari yang menunjukkan intensitas unik dalam sesuatu yang sederhana. Lukisan
bunga matahari paling terkenal adalah yang ia buat khusus untuk menghias kamar
seniman Paul Gauguin.
Starry, Starry Night
Jika karya-karya Vincent diibaratkan
teater, maka lukisan yang dibuat Vincent di rumah sakit jiwa ini adalah
klimaksnya. Konon, goresan-goresan intens yang berliku mencerminkan kondisi
emosional sang pelukis yang tidak stabil.
Self-Potrait
Jika di Indonesia kita punya Affandi yang
kerap melukis potret diri, maka di dunia internasional ada Vincent van Gogh
yang melukis lebih dari 30 potret diri. Ini bukan narsisme. Melukis diri adalah
media Vincent untuk melakukan introspeksi atas hidupnya, juga untuk melatih keterampilan
seninya.
Fakta
- Semasa hidupnya, Vincent van Gogh hanya berhasil menjual satu dari sekitar 1.900 karya yang ia hasilkan.
- Meski menderita gangguan mental, Vincent sesungguhnya sosok yang sangat cerdas dan menguasai beberapa bahasa sekaligus.